IDNNews.co.id, Batam — Di bawah langit biru Kepulauan Riau, geliat industri Batam terus berdetak. Pelabuhan-pelabuhan sibuk, kontainer keluar-masuk, dan deru mesin pabrik tak pernah berhenti. Namun di balik semarak itu, muncul kegelisahan baru: revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 yang dinilai bisa mengubah wajah Batam — bukan hanya sebagai kawasan ekonomi, tetapi juga ruang hidup masyarakatnya.
Revisi PP tersebut, yang tengah digodok pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam, disebut akan memperluas kewenangan lembaga itu dalam mengelola kawasan perdagangan bebas. Sebagian pihak menyambut langkah ini sebagai upaya memperkuat daya saing investasi. Namun, sebagian lainnya melihat bahaya tersembunyi: lahirnya lembaga “super body” yang terlalu kuat untuk diawasi.
“Kami mendukung iklim investasi yang kondusif, tapi jangan semua kuasa dikunci di satu tangan. Kalau BP Batam jadi satu-satunya pemegang kendali, lalu di mana posisi pengusaha lokal?” ujar seorang pelaku usaha yang enggan disebut namanya.
Bagi banyak pengusaha kecil dan menengah, revisi ini bukan sekadar soal birokrasi. Mereka takut tersisih dari arena ekonomi yang kian dikuasai pemain besar.
“Ketika izin dan lahan diatur sepenuhnya oleh satu badan, kami seperti bermain bola di lapangan yang miring,” tambahnya.
Kegelisahan itu tak hanya datang dari dunia usaha. Akademisi dan pemerhati lingkungan juga ikut bersuara. Anhar, dosen di salah satu universitas di Jakarta menyebut revisi PP 46/2007 rawan menimbulkan ketimpangan sosial baru.
