“Batam bukan cuma kawasan industri, tapi rumah bagi masyarakat pesisir dan adat. Kalau semua wilayah dijadikan zona bebas, ke mana mereka akan berlabuh?” ujarnya.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Ekspansi kawasan perdagangan bebas bisa memperluas eksploitasi lahan dan laut. Kasus kerusakan mangrove, tergusurnya masyarakat pesisir, hingga pencemaran laut pernah terjadi — dan revisi PP ini dikhawatirkan memperburuknya.
Keresahan publik itu kemudian mencuat dalam Forum Diskusi Nasional BACenter bertajuk “Tantangan Pengembangan KEK–KEK di Indonesia: Studi Kasus KEK Tanjung Sauh Batam” pada 5 November 2025.
Di ruang diskusi itu, para akademisi, pengusaha, dan pejabat duduk satu meja — mencoba mencari titik temu.
“Ini seperti menyuruh pelari berlari cepat, tapi tali sepatunya diikat,” ujar salah satu peserta menggambarkan paradoks antara semangat pemerintah menarik investasi dengan realita tumpang tindih regulasi di lapangan.
Prof. Dr. Syamsul Bahri, Ketua BACenter, menilai persoalan Batam bukan pada minimnya investor, melainkan pada inkonsistensi hukum dan regulasi.
“Negara seharusnya hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi juga mitra yang menjamin janji investasi benar-benar terlaksana,” tegasnya.
BACenter juga menyoroti perubahan status tanah dari HGB di atas tanah negara menjadi HGB di atas HPL milik Otorita Batam, yang membuat investor waswas.
“Perubahan tanpa dasar hukum kuat bisa membuat investasi kehilangan pegangan,” tambah pakar agraria nasional, Dr. Darwin Ginting.
Dalam forum itu pula, Taufan Rahmadi, anggota Tim Monitoring KEK Kemenparekraf, mencontohkan kesuksesan KEK Mandalika di Lombok.
