IDNNEWS.CO.ID, BATAM – Rencana Penerapan Batam Fuel Card 5.0 untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite memunculkan beragam polemik di masyarakat hingga legislatif.
Mengingat, rencana penerapan ini dipandang ada kejanggalan. Mulai dari adanya biaya bulanan senilai Rp 20 ribu yang dibebankan masyarakat, tumpang tindih dengan sistem QR Code Pertamina hingga belum adanya Peraturan Wali Kota (Perwako) yang mendasari kebijakan tersebut.
Memandang hal tersebut, Rikson Tampubolon, Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies sekaligus pengamat kebijakan publik Kota Batam melihat adanya kebijakan serampangan yang pada akhirnya sangat membebani masyarakat.
“Pemerintah Kota Batam kembali menunjukkan pola kebijakan yang serampangan melalui penerapan Batam Fuel Card 5.0. Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan buruknya perencanaan, tetapi juga secara langsung memberatkan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi lemah yang seharusnya menjadi sasaran subsidi BBM,” tegas Rikson Tampubolon saat dihubungi KE Groups pada Kamis (23/1/2025) siang.
Pihaknya pun memandang, ada beberapa hal yang menjadi sorotannya. Pertama, Lemahnya Perencanaan dan Landasan Hukum.
Kenapa lemah? Kerena ketiadaan Peraturan Wali Kota (Perwako) sebagai landasan hukum yang jelas menunjukkan bahwa kebijakan ini dibuat tergesa-gesa tanpa kajian yang matang.
“Kebijakan publik yang menyentuh hajat hidup orang banyak semestinya didukung oleh analisis komprehensif dan dasar hukum yang kokoh. Tanpa itu, kebijakan ini tidak hanya rentan dipersoalkan, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance),” terangnya.
Kedua, tambahnya, beban tambahan bagi Masyarakat berupa biaya administrasi Rp 20.000 per bulan yang dikenakan melalui Fuel Card 5.0. Beban ini bertentangan dengan esensi subsidi BBM, yaitu meringankan masyarakat kecil.
Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, biaya ini menjadi tekanan ekstra yang tidak diperlukan. Kebijakan seperti ini justru memperburuk ketimpangan dan memperlihatkan bahwa pemerintah gagal memahami kondisi warganya.
Ketiga, adanya tumpeng tindih kebijakan yang pada akhirnya memunculkan ketidak fisien dan Membingungkan.
Adanya dua sistem, yaitu Fuel Card dari pemerintah daerah dan QR Code dari Pertamina, memperlihatkan lemahnya koordinasi antar lembaga.
“Kebijakan ini justru menciptakan kebingungan di masyarakat, membuang waktu, dan berpotensi menciptakan inefisiensi administratif. Keputusan ini seolah mengesampingkan tujuan utama subsidi BBM, yaitu memastikan tepat sasaran tanpa memberatkan pengguna,” terangnya.
Keempat, Transparansi Penunjukan Bank yang Dipertanyakan. Penunjukan tiga bank secara langsung untuk program ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai proses yang dilakukan.
Mengapa hanya tiga bank? Mengapa tidak memanfaatkan sistem digital yang sudah terintegrasi, seperti e-money, yang lebih sederhana dan murah? Kurangnya transparansi dalam penunjukan ini memicu kecurigaan akan adanya konflik kepentingan atau praktik yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Untuk itu, pihaknya merekomendasikan untuk Pemerintah Kota Batam berupa Evaluasi dan penundaan kebijakan penerapan Fuel Card 5.0 hingga adanya kajian menyeluruh dan penyusunan Perwako sebagai landasan hukum yang jelas. Selain itu, Hapus beban biaya administrasi. Biaya Rp 20.000 per bulan harus dihapuskan.

“Setelah itu, harmonisasi dengan kebijakan nasional. Selaraskan Fuel Card dengan sistem QR Code Pertamina yang sudah diterapkan secara nasional. Hilangkan kebijakan tumpang tindih yang hanya menciptakan kebingungan dan inefisiensi,” tambahnya.
Yang tak kalah penting adalah, tegasnya lagi, bangun Transparansi dan Keterbukaan untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan atau pelanggaran prinsip transparansi.
Dan terakhir, fokus pada Kelompok Rentan yang membutuhkan. Pastikan kebijakan ini tidak hanya menjadi beban tambahan bagi masyarakat kecil, tetapi benar-benar membantu kelompok rentan yang membutuhkan subsidi.
“Kebijakan Fuel Card 5.0 adalah contoh nyata bagaimana pemerintah daerah gagal dalam perencanaan dan implementasi yang berpihak pada masyarakat. Kebijakan seperti ini hanya menambah beban masyarakat dan mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tutupnya. (iman)