Menurut Osman, keberadaan dua lembaga ini dengan fungsi yang beririsan telah menimbulkan kebingungan di lapangan. Para pelaku usaha, penyedia jasa, hingga pejabat pelaksana dihadapkan pada situasi dilematis: menjalankan salah, tidak menjalankan juga salah.
“Ini yang menjadi keprihatinan kami. Ada rasa khawatir di kalangan pelaksana. Beberapa dari mereka bahkan sedang dalam proses pemeriksaan hukum akibat kebijakan yang tidak sinkron,” ujarnya menegaskan.
Osman menilai persoalan ini tidak hanya berdampak pada kelancaran pelayanan publik, tetapi juga menimbulkan risiko hukum bagi semua pihak yang terlibat, termasuk penerima izin.
Salah satu penyebab utama yang disorotnya adalah Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang menurutnya berpotensi menimbulkan masalah hukum karena tidak sepenuhnya selaras dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
“PP 25 ini jika diterapkan tanpa penyesuaian dan sinkronisasi, izin-izin yang dikeluarkan justru bisa menjadi invalid. Karena izin tersebut tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka bisa dianggap tidak sah secara hukum,” ungkapnya.
Osman mencontohkan, dalam urusan pertanahan dan pengelolaan kawasan, BP Batam memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin lokasi dan pengelolaan lahan.