REFLEKSI: Dualisme PWI, ‘Kisah Lama Kembali Terjadi’

Salah satu buah dari refleksi tersebut, ternyata dualisme kepemimpinan di tubuh PWI bukan yang pertama terjadi.

Cerita konflik yang terjadi pada Kongres PWI di Palembang tersebut bisa dibaca dalam dalam buku karya IN Soebagijo berjudul “Jagat Wartawan Indonesia” (1981), buku Rosihan Anwar berjudul “Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi” (1983) dan buku yang ditulis Toeti Kakiailatu berjudul “BM Diah: Wartawan Serba Bisa” (1997).

Setelah dualisme kepemimpinan PWI berlangsung selama tiga tahun, pada bulan Desember 1973, Pengurus Pusat (PP) PWI mengadakan Kongres XV Tretes, Jawa Timur.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA:  OJK Jalankan Fair Trade di Industri Jasa Keuangan

Kongres ini mengakhiri dualisme yang terjadi antara PWI BM. Diah dan PWI Rosihan Anwar. Kongres ini juga, membahas mengenai penetapan program kerja serta beberapa perubahan dalam pelaksanaan organisasi PWI, seperti penertiban Kartu Anggota PWI dan Kartu Pers.

PWI mulai mengadakan pendidikan kewartawanan melalui Karya Latihan Wartawan (KLW), serta melakukan perubahan masa bakti kepengurusan tingkat pusat dan cabang serta perwakilan. Pada tingkat cabang dan perwakilan di seluruh Indonesia, kepengurusan dilakukan dari dua tahun menjadi empat tahun sekali.

Seperti tertuang dalam kesimpulan Citriana Deferentian Wahyu Hidayanti, kepada mereka yang berkonflik atau terlibat pada dualisme kepemimpinan PWI Pusat dan para pendukungnya, camkan bahwa PWI merupakan organisasi PWI memiliki peran penting dalam perkembangan pers nasional. Oleh karena itu, adanya konflik kepentingan dalam PWI menimbulkan dampak yang sangat luas.

BACA JUGA:  Terancam Hukuman Mati, Dua Pria Selundupkan Sabu 3 Kg

Dengan tercapainya rekonsiliasi atau integrasi dalam tubuh PWI menunjukkan bahwa meskipun terdapat dualisme dengan kepengurusan yang berbeda pendapat dalam satu organisasi, maka kesampingkan perbedaan itu dengan mengedepankan komitmen profesi sebagai seorang wartawan atau jurnalis.

Akankah penyelesaian dualisme kepengurusan PWI Pusat akan berlarut, atau butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya seperti yang terjadi pada konflik kepengurusan PWI hasil Kongres XIV di Palembang?

Apa yang terjadi pada dualisme PWI saat ini menurut Dahlan Iskan, yang jelas ini bukan perpecahan akibat aliran ideologi pers seperti di zaman BM Diah vs Rosihan Anwar di masa lalu. Juga bukan akibat perbedaan sikap mau kritis atau mau pro pemerintah. Ini perpecahan seperti piring pecah karena ada yang rebutan piring di atas meja.

BACA JUGA:  Bisnis Digital Kian Bertumbuh, Telkom Bukukan Pertumbuhan Pendapatan Positif Rp112,2 T

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengimbau agar konflik internal di PWI dapat segera diselesaikan demi kepentingan bersama serta keberlanjutan organisasi. Dewan Pers mempertimbangkan untuk harus bersikap tidak berpihak kepada dualisme kepengurusan PWI. Hal ini sebagaimana peran dan kedudukan struktur organisatoris Dewan Pers.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *