“Semangat membangun pusat perawatan pesawat berkelas dunia bukan hanya untuk Lion Air Group, tetapi untuk Indonesia,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengembangan KPBPB dan KEK BP Batam, Irfan Syakira Widyasa, mengungkapkan kekagumannya atas perkembangan pesat kawasan teknopark penerbangan ini. Ia menyoroti bahwa area pengembangan yang awalnya 108 hektare kini telah terbangun dan masih akan diperluas.
Menurut Irfan, Bandara Hang Nadim—yang memiliki runway terpanjang di Indonesia, mencapai 4.025 meter—sedang mengalami transformasi besar. Bandara itu kini dikelola oleh konsorsium Angkasa Pura Indonesia, Bincon, dan PT WITRA, serta tengah membangun Terminal 2 berkapasitas 9,8 juta penumpang. Proyeksi jangka panjangnya bahkan mencapai 25 juta penumpang per tahun.
Irfan juga menyoroti persoalan kritis di industri penerbangan: tingginya jumlah armada yang tidak layak operasi. Dari total 570 pesawat nasional, hanya sekitar 360 yang berstatus serviceable. Data internal menunjukkan bahwa dari 297 pesawat milik Lion Air Group—termasuk Lion Air, Batik Air, Super Air Jet, dan Wings Air—hanya 182 unit yang aktif terbang.
“Kondisi ini sangat mempengaruhi harga tiket. Kekurangan pesawat berarti suplai berkurang, sehingga harga naik,” ujarnya.
Ia menilai kehadiran Batam Aerotechnic menjadi harapan besar untuk mempercepat kembali pesawat-pesawat yang tengah unserviceable agar bisa kembali melayani publik.
Saat ini, 70% perawatan engine dan komponen masih harus dikirim ke luar negeri, menyebabkan biaya tinggi dan waktu tunggu panjang. Indonesia membutuhkan kemandirian MRO, dan Batam Aerotechnic dinilai berada pada jalur yang tepat untuk mengurangi ketergantungan impor jasa tersebut.
Selain Batam, pemerintah juga tengah menyiapkan pembangunan fasilitas MRO besar lainnya di Bandara Kertajati.











