Dua Sumber Kewenangan, Satu Kekacauan
Salah satu kekhawatiran terbesar yang disoroti Osman adalah terjadinya tumpang tindih kewenangan. Menurutnya, PP 25/2025 menciptakan dua sistem hukum yang berjalan bersamaan: satu berdasarkan undang-undang, satu lagi berdasarkan peraturan pemerintah.
“Ketika dua sistem ini bertemu tanpa harmonisasi, yang terjadi adalah kekacauan birokrasi,” jelasnya.
Kekacauan itu, kata Osman, sudah mulai terasa. Beberapa perizinan di Batam disebut tertunda dengan alasan teknis dan administratif, yang pada dasarnya mencerminkan ketidakpastian arah kebijakan.
Padahal, dalam prinsip pemerintahan yang baik (good governance), pelayanan publik tidak boleh berhenti bahkan untuk satu jam pun.
“Bayangkan jika masyarakat dan pelaku usaha menunggu izin yang tak kunjung keluar. Ini bukan sekadar lambat, tapi bentuk disfungsi birokrasi,” tambahnya.
Analogi sejarah menjadi menarik di sini. Osman mengingatkan bahwa kebijakan ini menyeret Batam ke masa lalu—masa ketika otorita menjadi pusat kendali tunggal.
“Dulu, otorita masih bersifat koordinatif. Kini, BP Batam justru diberi fungsi regulatif yang lebih besar dari sebelumnya,” katanya.
Pergeseran ini dinilainya berbahaya karena mengancam sistem pemerintahan demokratis di daerah.
“Kalau semua kewenangan terpusat di satu lembaga tanpa kontrol, itu bukan lagi republik, tapi menyerupai sistem federal yang berdiri di dalam negara kesatuan,” ujarnya.
Pandangan tersebut mencerminkan keresahan banyak pihak di Batam, yang khawatir daerah ini sedang kehilangan keseimbangannya antara pusat dan daerah, antara efisiensi ekonomi dan supremasi hukum.
Selain aspek tata kelola, Osman juga menyoroti konsekuensi hukum yang serius. Ia mencontohkan sudah ada masyarakat yang tersandung kasus hukum karena kebijakan tumpang tindih di sektor perizinan.