IDNNEWS.CO.ID, Batam — Suasana ruang rapat di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe B Batam pagi itu terasa hangat, namun juga penuh keseriusan. Di satu sisi duduk para pejabat Bea Cukai, sementara di sisi lain hadir jajaran pengurus Aliansi Maritim Indonesia (ALMI) Batam yang dipimpin oleh Osman Hasyim.
Mereka tidak datang untuk berdebat, tetapi untuk mencari solusi — demi masa depan pelayanan publik dan iklim usaha yang lebih baik di kawasan yang dikenal sebagai jantung logistik Indonesia ini.
Audiensi ini menjadi penting karena dilatarbelakangi oleh terbitnya dua regulasi baru: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PP 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas, serta PP Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Dua aturan ini membawa semangat penyederhanaan, namun juga menimbulkan sejumlah tantangan dalam penerapannya di lapangan.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sejak awal dirancang untuk menjadi pintu gerbang ekonomi Indonesia — kawasan yang diberi fleksibilitas tinggi dalam urusan kepabeanan dan perizinan, agar investasi dan industri bisa bergerak cepat. Namun seiring waktu, berbagai kebijakan baru menuntut penyesuaian yang tak selalu mudah.
Menurut Osman Hasyim, ALMI memandang perlu adanya kesepahaman lintas instansi agar tujuan besar Batam sebagai pusat logistik, perdagangan, dan industri berdaya saing tidak terhambat oleh tumpang tindih aturan.
