Menurut Benny, kondisi ini bisa menjadi cikal bakal munculnya dugaan praktik tidak sehat yang oleh masyarakat kerap disebut sebagai “malam istirahat” — istilah yang mengacu pada adanya kesepakatan atau kompromi di luar mekanisme resmi.
Benny juga menyinggung soal implementasi PP Nomor 25 Tahun 2024 yang telah berlaku sejak 3 Juni lalu. Ia menilai, meskipun regulasi tersebut sudah berjalan lebih dari empat bulan, namun langkah preventif dan korektif dari BP Batam belum terlihat nyata.
“Kita sudah lebih dari empat bulan sejak PP 25 berlaku. Tapi di mana fungsi preventifnya? Apa pernyataan resmi yang sudah disampaikan BP Batam sejauh ini? Harusnya sejak awal regulasi ini berlaku, pengawasan sudah diperkuat,” ujarnya dengan nada tegas.
Ia menilai, tanpa langkah pengawasan yang jelas, kebijakan baru justru dapat menimbulkan dampak negatif yang luas, terutama di bidang investasi dan pelayanan publik di wilayah Batam.
Dalam kesempatan yang sama, Benny juga meminta agar lembaga pengawas seperti Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam, melalui bidang datun (perdata dan tata usaha negara), ikut mengambil peran dalam mengawasi implementasi kebijakan di BP Batam. Ia berharap lembaga hukum dapat bertindak sebagai pengawal kebijakan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyimpangan kewenangan.
“Dari Kejari itu ada bidang Datun, dan dari sinilah sebenarnya bisa dilakukan pengawasan terhadap proses administrasi dan pelaksanaan kebijakan BP Batam. Saya harap lembaga-lembaga pengawas ini tidak hanya diam, tapi segera turun melakukan langkah preventif,” jelasnya.











